KISAH KAKEKNYA PRABOWO, KEHILANGAN 2 ANAK SEKALIGUS DALAM 1 HARI DEMI NKRI
Warta Hub. Tidak ada rasa sakit yang begitu sakit dirasakan, selain kehilangan
orang yang dicintai. Apalagi, kalau orang yang kita cintai itu pergi
dengan cara tragis, misalnya tewas atau terbunuh, bukan karena sakit.
Dan yang lebih sakit lagi, jika kita kehilangan orang yang dicintai dalam waktu bersamaan. Misalnya, kehilangan anak dalam waktu yang bersamaan. Tentu sakitnya akan terus membekas. Tapi itulah yang dialami kakek Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad.
Dalam sebuah wawancara, Prabowo bercerita tentang keluarga besarnya. Menurut mantan menantu mendiang Presiden Soeharto itu, keluarganya adalah keluarga republiken. Keluarga besarnya adalah keluarga pejuang. Kakeknya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo nisalnya, adalah orang pergerakan. Pendiri BNI. Pun ayahandanya, Soemitro Djokohadikusumo, juga seorang yang punya komitmen kuat kepada republik.
Dua adik ayahnya atau pamannya, juga pejuang republik. Dua pamannya itu adalah Soebijanto Djojohadikusumo dan Soejono Djojohadikusumo. Khusus tentang dua pamannya itu, Prabowo punya cerita khusus. Menurut Prabowo, dua pamannya itu yang jadi inspirasi hidupnya. Bahkan keduanya yang membuat ia kemudian memutuskan masuk militer. Padahal, ketika itu, ayahnya ingin dia sekolah di universitas umum.
Diakui Prabowo, sebelum masuk akademi militer, dirinya sebenarnya sudah diterima di Universitas Boston. Ayahnya ketika itu sangat senang. Pun ibunya. Tapi ketika itu, ia juga mendaftar di akademi militer di Magelang, dan lolos seleksi. Ia pun memilih akademi militer, yang kelak merubah jalan kehidupannya.
Ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, saat itu kata Prabowo, sebenarnya agak kecewa. Tapi kemudian memahami pilihannya. Ibunya pun sempat kecewa. Bahkan, saat dirinya sudah masuk akademi militer, ibunya masih sempat membujuknya untuk keluar. Tapi, ia sudah bulat tekad ingin mengabdi pada bangsa lewat jalur militer.
Prabowo mengakui, jejak perjuangan dua pamannya itu yang mempengaruhinya untuk masuk dunia kemiliteran. Tapi dua pamannya itu yang membuat kakeknya sedih berkepanjangan. Prabowo pun kemudian menceritakan kisah dua pamannya yang membuat kakeknya sedih berkepanjangan.
Saat masih hidup, dan masih dalam usia belia, kata Prabowo, dua pamannya memutuskan ikut angkat senjata melawan penjajahan. Dua pamannya itu masuk Akademi Militer Tangerang, sebuah akademi militer dibawah naungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Direktur akademi itu yang pertama adalah Mayor Daan Mogot. Ia diangkat jadi direktur saat usianya belum genap dua puluh tahun.
Tahun 1945, Jepang kalah oleh sekutu, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat. Informasi kekalahan Jepang pun sampai ke Tanah Air. Mengutip apa yang ditulis Wikipedia.org, sekitar bulan Januari 1946, Komandan Resimen IV Tangerang, Mayor Daan Yahya, menerima informasi, bahwa pasukan Belanda yang sudah kembali datang ke Indonesia, telah menguasai Parung, Bogor. Informasi lainnya, tentara Belanda ini hendak merebut depot senjata Jepang di Lengkong, Tangerang. Ketika itu, sekitar Lengkong masih ada hutan-hutan.
Tak mau didahului Belanda, Daan Yahya, memerintahkan Mayor Daan Mogot segera melucuti senjata Jepang di Lengkong. Pada 25 Januari 1946, bersama puluhan taruna Akademi Militer Tangerang, Daan beserta beberapa perwira, termasuk Letnan Soebijanto mendatangi markas pasukan Jepang di Lengkong.
Sore hari, mereka tiba. Dan langsung memasuki markas dengan cara bersahabat. Daan dan beberapa perwira pun bertemu dengan komanda tentara Jepang di sana. Setelah itu Daan mengutarakan maksudnya hendak melucuti senjata pasukan Jepang. Sang komandan Jepang menyatakan, ia hendak menelpon dulu atasannya di Jakarta.
Tapi entah mengapa di tengah perundingan, sepasukan taruna Akademi Militer Tangerang sudah bergerak duluan. Mereka pun langsung melucuti tentara Jepang. Lalu mengumpulkan mereka di lapangan tengah markas. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan.
Tidak pelak, perundingan pun bubar. Daan Mogot dan beberapa perwira yang sedang berunding langsung berhamburan keluar. Sementara dari atas menara pengintai, tentara Jepang dengan senjata mesinnya tanpa ampun menghajar para taruna yang sedang melucuti tentara Jepang di tengah lapangan. Pertempuran pun pecah.
Mayor Daan Mogot, langsung menarik mundur pasukannya ke hutan karet yang ada di sekitar depot senjata. Pertempuran berlangsung terus. Dengan sejata seadanya, pasukan Daan Mogot coba melawan. Tapi, karena senjata tak berimbang, 33 kadet atau taruna gugur. Sisanya 3 perwira. Termasuk Mayor Daan sendiri yang gugur diberondong peluru yang dimuntahkan dari senapan mesin. Daan gugur dengan gagah berani. Sebab ia dengan keadaan terluka, berhasil menjangkau sebuah senapan mesin, lalu menembakannya ke arah tentara Jepang.
Sisanya selamat. Tapi, ada pula yang di tawan. Yang ditawan pun beberapa dieksekusi dengan bengis oleh tentara Jepang. Soebijanto dan Soejono, dua paman Prabowo, adalah dua orang yang ikut gugur di peristiwa berdarah tersebut. Kematian dua orang pamannya itu memukul batin Raden Margono. Margono sangat sedih, hanya dalam satu hari, dia kehilangan dua putranya sekaligus.
Ayahnya, Soemitro yang tak lain kakak kandung dari dua pamannya itu juga ikut terpukul. Prabowo masih ingat, saat ia kecil, ayahnya selalu memperlihatkan seragam serta topi dua pamannya. Sering diceritakan padanya kisah heroik sang paman. Bahkan demi mengenang sang paman, nama Soebijanto pun disematkan pada nama Prabowo.
Kisah heroik dua pamannya itu yang menginsiprasi Prabowo untuk jadi tentara. Semangat itu masih membara hingga kini. Demi NKRI, demi bangsanya, Prabowo rela memikul berat perjuangan sebagai anak bangsa untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran akibat pengkhianatan elit merampok negeri ini dan menyerahkan kedaulatan kepada asing dan aseng.
Prabowo tidak pernah lelah memberikan tauladan kepada anak bangsa dan mengorbankan segalanya untuk NKRI. Sudah saatnya Prabowo memimpin perubahan! Sudah saatnya yang cinta NKRI memimpin negeri ini secara konstitusi. Sudah saatnya jiwa-jiwa kesatria bangkit bersama Prabowo menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan.
Ayo para jiwa kesatria, bangkitlah…ibu pertiwi memanggilmu! Bergeraklah, selamatkan Indonesia.
Dan yang lebih sakit lagi, jika kita kehilangan orang yang dicintai dalam waktu bersamaan. Misalnya, kehilangan anak dalam waktu yang bersamaan. Tentu sakitnya akan terus membekas. Tapi itulah yang dialami kakek Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad.
Dalam sebuah wawancara, Prabowo bercerita tentang keluarga besarnya. Menurut mantan menantu mendiang Presiden Soeharto itu, keluarganya adalah keluarga republiken. Keluarga besarnya adalah keluarga pejuang. Kakeknya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo nisalnya, adalah orang pergerakan. Pendiri BNI. Pun ayahandanya, Soemitro Djokohadikusumo, juga seorang yang punya komitmen kuat kepada republik.
Dua adik ayahnya atau pamannya, juga pejuang republik. Dua pamannya itu adalah Soebijanto Djojohadikusumo dan Soejono Djojohadikusumo. Khusus tentang dua pamannya itu, Prabowo punya cerita khusus. Menurut Prabowo, dua pamannya itu yang jadi inspirasi hidupnya. Bahkan keduanya yang membuat ia kemudian memutuskan masuk militer. Padahal, ketika itu, ayahnya ingin dia sekolah di universitas umum.
Diakui Prabowo, sebelum masuk akademi militer, dirinya sebenarnya sudah diterima di Universitas Boston. Ayahnya ketika itu sangat senang. Pun ibunya. Tapi ketika itu, ia juga mendaftar di akademi militer di Magelang, dan lolos seleksi. Ia pun memilih akademi militer, yang kelak merubah jalan kehidupannya.
Ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, saat itu kata Prabowo, sebenarnya agak kecewa. Tapi kemudian memahami pilihannya. Ibunya pun sempat kecewa. Bahkan, saat dirinya sudah masuk akademi militer, ibunya masih sempat membujuknya untuk keluar. Tapi, ia sudah bulat tekad ingin mengabdi pada bangsa lewat jalur militer.
Prabowo mengakui, jejak perjuangan dua pamannya itu yang mempengaruhinya untuk masuk dunia kemiliteran. Tapi dua pamannya itu yang membuat kakeknya sedih berkepanjangan. Prabowo pun kemudian menceritakan kisah dua pamannya yang membuat kakeknya sedih berkepanjangan.
Saat masih hidup, dan masih dalam usia belia, kata Prabowo, dua pamannya memutuskan ikut angkat senjata melawan penjajahan. Dua pamannya itu masuk Akademi Militer Tangerang, sebuah akademi militer dibawah naungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Direktur akademi itu yang pertama adalah Mayor Daan Mogot. Ia diangkat jadi direktur saat usianya belum genap dua puluh tahun.
Tahun 1945, Jepang kalah oleh sekutu, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat. Informasi kekalahan Jepang pun sampai ke Tanah Air. Mengutip apa yang ditulis Wikipedia.org, sekitar bulan Januari 1946, Komandan Resimen IV Tangerang, Mayor Daan Yahya, menerima informasi, bahwa pasukan Belanda yang sudah kembali datang ke Indonesia, telah menguasai Parung, Bogor. Informasi lainnya, tentara Belanda ini hendak merebut depot senjata Jepang di Lengkong, Tangerang. Ketika itu, sekitar Lengkong masih ada hutan-hutan.
Tak mau didahului Belanda, Daan Yahya, memerintahkan Mayor Daan Mogot segera melucuti senjata Jepang di Lengkong. Pada 25 Januari 1946, bersama puluhan taruna Akademi Militer Tangerang, Daan beserta beberapa perwira, termasuk Letnan Soebijanto mendatangi markas pasukan Jepang di Lengkong.
Sore hari, mereka tiba. Dan langsung memasuki markas dengan cara bersahabat. Daan dan beberapa perwira pun bertemu dengan komanda tentara Jepang di sana. Setelah itu Daan mengutarakan maksudnya hendak melucuti senjata pasukan Jepang. Sang komandan Jepang menyatakan, ia hendak menelpon dulu atasannya di Jakarta.
Tapi entah mengapa di tengah perundingan, sepasukan taruna Akademi Militer Tangerang sudah bergerak duluan. Mereka pun langsung melucuti tentara Jepang. Lalu mengumpulkan mereka di lapangan tengah markas. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan.
Tidak pelak, perundingan pun bubar. Daan Mogot dan beberapa perwira yang sedang berunding langsung berhamburan keluar. Sementara dari atas menara pengintai, tentara Jepang dengan senjata mesinnya tanpa ampun menghajar para taruna yang sedang melucuti tentara Jepang di tengah lapangan. Pertempuran pun pecah.
Mayor Daan Mogot, langsung menarik mundur pasukannya ke hutan karet yang ada di sekitar depot senjata. Pertempuran berlangsung terus. Dengan sejata seadanya, pasukan Daan Mogot coba melawan. Tapi, karena senjata tak berimbang, 33 kadet atau taruna gugur. Sisanya 3 perwira. Termasuk Mayor Daan sendiri yang gugur diberondong peluru yang dimuntahkan dari senapan mesin. Daan gugur dengan gagah berani. Sebab ia dengan keadaan terluka, berhasil menjangkau sebuah senapan mesin, lalu menembakannya ke arah tentara Jepang.
Sisanya selamat. Tapi, ada pula yang di tawan. Yang ditawan pun beberapa dieksekusi dengan bengis oleh tentara Jepang. Soebijanto dan Soejono, dua paman Prabowo, adalah dua orang yang ikut gugur di peristiwa berdarah tersebut. Kematian dua orang pamannya itu memukul batin Raden Margono. Margono sangat sedih, hanya dalam satu hari, dia kehilangan dua putranya sekaligus.
Ayahnya, Soemitro yang tak lain kakak kandung dari dua pamannya itu juga ikut terpukul. Prabowo masih ingat, saat ia kecil, ayahnya selalu memperlihatkan seragam serta topi dua pamannya. Sering diceritakan padanya kisah heroik sang paman. Bahkan demi mengenang sang paman, nama Soebijanto pun disematkan pada nama Prabowo.
Kisah heroik dua pamannya itu yang menginsiprasi Prabowo untuk jadi tentara. Semangat itu masih membara hingga kini. Demi NKRI, demi bangsanya, Prabowo rela memikul berat perjuangan sebagai anak bangsa untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran akibat pengkhianatan elit merampok negeri ini dan menyerahkan kedaulatan kepada asing dan aseng.
Prabowo tidak pernah lelah memberikan tauladan kepada anak bangsa dan mengorbankan segalanya untuk NKRI. Sudah saatnya Prabowo memimpin perubahan! Sudah saatnya yang cinta NKRI memimpin negeri ini secara konstitusi. Sudah saatnya jiwa-jiwa kesatria bangkit bersama Prabowo menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan.
Ayo para jiwa kesatria, bangkitlah…ibu pertiwi memanggilmu! Bergeraklah, selamatkan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar